A.
Sejarah
William
Glesser merupakan lulusan dari the Case
of Technology sebagai insinyur Kimia pada tahun 1944 di usia 19 tahun,
kemudian ia mengambil master di bidang Psikologis Klinis pada usia 23 tahun di
universitas yang sama. Pada tahun 1956 Glasser menjadi kepala bagian psikiatri
di Venture School of Girl yang
merupakan institusi untuk menangani kenakalan remaja perempuan. Pada saat
inilah Glasser mengembangkan konsep pendekatan realitas. Buku pertamanya Mental Health or Mental Illmess pada
tahun 1961 merupakan landasan berpikir dari teknik dan konsep dasar terapi
realitas (Thompson,et.al.,2004,p.110).
Glasser
menggunakan istilah reality therapy
pada April 1964 pada manuskrip yang berjudul Reality Therapy: A Realistic Approach to the Young Offender. Tulisan
tersebut diterbitkan pada tahun 1965 dengan judul 1965 dengan judul Reality Therapy. Pada tahun 1968 Glasser
mendirikan the Institute for Reality
Therapy di Los Angeles.
Yang
dimaksudkan dengan istilah reality ialah suatu standar atau patokan obyektif,
yang menjadi kenyataan atau realitas yang harus diterima. Realitas atau
kenyataan itu dapat berwujud suatu realitas praktis, realitas social, atau
realitas moral. Sesuai dengan pandangan behavioristik, yang terutama disoroti
pada sseorang adalah tingkah lakunya. Tingkah laku ini dievaluasi menurut
kesesuaian atau ketidaksesuaian dengan realitas yang ada. Glasser memfokuskan
perhatian pada perilaku seseorang pada saat sekarang, dengan menitikberatkan
tanggung jawab yang dipukul setiap orang
untuk berperilaku sesuai dengan realitas atau kenyataan yang dihadapi.
Penyimpangan/ketimpangan dalam tingkah laku sesorang dipandang sebagai akibat
dari tidak adanya kesadaran menhgenai tanggung jawab pribadi; bukan sebagai
indikasi/gejala adanya gangguan kesehatan mental menurut konsepsi tradisional.
Bagi Glasser, bermental sehat adalah menunjukkan rasa tanggung jawab dalam
semua perilaku. Tanggung jawab diartikan sebagai kemampuan untuk dapat memenuhi
dua kebutuhan psikologis yang mendasar yaitu kebutuhan dicintai dan mencintai
serta kebutuhan menghayati dirinya sebagai orang yang berharga dan berguna,
tetapi dengan cara tidak merampas hak orang lain untuk memenuhi kebutuhan
mereka. Kemampuan untuk memenuhi kedua kebutuhan dasar tidak dimiliki sejak
lahir, tetapi harus diperoleh melalui suatu proses belajar. Dengan demikian,
bertanggung jawab merupakan hasil dari aneka usaha belajar memenuhi kebutuhan
itu dalam realitas hidup, yang menghadapkan orang pada norma-norma moralitas,
adat-istiadat social, nilai-nilai kehidupan, serta pembatasan gerak-gerik yang
lain. Orang perorangan tidak diperkenankan untuk bertindak sesuka hati; dia
harus menunjukkan tingkah laku yang tepat dan menghindari tingkah laku yang
salah (right and wrong behavior).
Menurut
pendapat Schmidt (1993) pendekatan ini cocok untuk diterapkan oleh seorang
konselor sekolah karena tekanan yang diberikan pada kemampuan individu mengatur
kehidupannya sendiri dan berani mempertanggungjawabkan suatu lingkungan
kegudayaan yang mengutamakan pengembangan segala potensi yang menghargai
kelancaran dalam hubungan social biarpun berarti mengorbankan suatu potensi
yang sebnarnya dimiliki.
Ciri
yang khas dari pendekatan ini adalah tidak terpaku pada kejadian-kejadian di
masa lalu, tetapi mendorong konseli untuk menghadapi realitas. Pendekatan ini
juga tidak member perhatian pada motif-motif bawah sadar sebagaimana pandangan
kaum psikoanalisis. Akan tetapi, lebih menekankan pada pengubahan tingkah laku
yang lebih bertanggung jawab dengan merencanakan dan melakukan
tindakan-tindakan tersebut.
B.
Pandangan
Tentang Manusia
Glasser
percaya bahwa setiap manusia memiliki kebutuhan psikologis yang secara konstan
(terus-menerus) hadir sepanjang rentang kehidupannya dan harus dipenuhi. Ketika
seseorang mengalami masalah, hal tersebut disebabkan oleh factor, yaitu
terhambatnya seseorang dalam memenuhi kebutuhan psikologisnya. Keterhambatan
tersebut pada dasarnya karena penyangkalan terhadap realita, yaitu
kecenderungan seseorang untuk menghindari hal-hal yang tidak menyenangkan.
Mengacu pada teori hierarki kebutuhan yang dikemukakan oleh Maslow, Glasser mendasari
pandangannya tentang kebutuhan manusia untuk dicintai dan mencintai, dan
kebutuhan untuk merasa berharga bagi orang lain.
Secara
rinci, Glasser menjelaskan kebutuhan-kebutuhan dasar psikologis manusia,
meliputi:
1.
Cinta
Menurut
Glasser kebutuhan ini disebut sebagai identity
society, yang menekankan pentingnya hubungan personal. Beberapa
aktivitas yang menunjukkan kebutuhan ini
antara lain: persahabatan, acara perkumpulan tertentu, dan keterlibatan dalam
organisasi kemahasiswaan. Kebutuhan ini oleh Glasser dibagi dalam tiga bentuk: social belonging, work belonging, dan family belonging.
2.
Kekuasaan
Kebutuhan
akan kekuasaan (power) meliputi kebutuhan untuk berprestasi, merasa beharga,
dan mendapatkan pengakuan. Kebutuhan ini biasanya di ekspresikan melalui
kompetisi dengan orang-orang disekitar kikta, memimpin, mengorganisir,
menyelesaikan pekerjaan sebaik mungkin, menjadi tempat bertanya atau meminta
pendapat bagi orang lain, melontarkan idea tau gagasan dan sebagainya.
3.
Kesenangan
Merupakan
kebutuhan untuk merasa senang, bahagia. Pada anak-anak, terlihat dalam
aktivitas bermain. Kebutuhan ini muncul sejak dini, kemudian terus berkembang
hingga dewasa. Misalnya, berlibur untuk menghilangkan kepenatan, bersantai,
melucu, humor, dan sebagainya.
4.
Kebebasan
Kebebasan
(freedom) merupakan kebutuhan untuk merasakan kebebasan atau kemerdekaan dan
tidak bergantung pada orang lain, misalnya membuat pilihan (aktif pada
organisasi kemahasiswaan), memutuskan akan melanjutkan studi pada jurusan apa,
bergerak, dan berpindah dari satu tempat ke tempat lain. Kebutuhan-kebutuhan
tersebut bersifat universal, tetapi dipenuhi dengan cara yang unik oleh
masing-masing manusia. Glasser memiliki pandangan yang optimis tentang
kemampuan dasar manusia, yaitu kemampuan untuk belajar memenuhi kebutuhannya
dan menjadi orang yang bertanggung jawab. Tingkah laku yang bertanggung jawab
merupakan upaya manusia mengontrol lingkungan untuk memenuhi kebuthan dan
menghadaoi realita yang dialami dalam kebutuhannya.
Dapat
dirumuskan, pandangan Glasser tentang manusia adalah sebagai berikut:
·
Setiap individu
bertanggung jawab terhadap kehidupannya
·
Tingkah laku seseorang
merupakan gaya mengontrol lingkungan untuk memenuhi kebutuhannya.
·
Individu ditantang
untuk menghadapi realita tanpa memperdulikan kejadian-kejadian di masa lalu,
serta tidak member perhatian pada sikap dan motivasi di bawah sadar.
·
Setiap orang memiliki
kemampuan untuk melakukan sesuatu pada masa kini.
C.
Konsep
Dasar
Pada dasarnya setiap individu terdorong untuk
memenuhi kebutuhan dan keinginannya, di mana kebutuhannya bersifat universal
pada semua individu, sementara keinginan bersifat unik pada masing-masing
individu. Ketika seseorang dapat memnuhi apa yang diinginkan, kebutuhan
tersebut terpuaskan. Tetapi, jika apa yang diperoleh tidak sesuai dengan
keinginan, maka orang akan frustasi, dan pada akhirnya akan terus memunculkan
perilaku baru sampai keinginannya terpuaskan. Artinya, ketika timbul perbedaan
antara apa yang diinginkan dengan apa yang diperoleh, membuat individu terus
memunculkan perilaku-perilaku yang spesifik. Jadi, perilaku yang dimuncukan
adalah bertujuan, yaitu dibentuk untuk mengatasi hambatan antara apa yang
diinginkan denga apa yang diperoleh, atau muncul karena dipilih oleh individu.
Perilaku
manusia, merupakan perilaku total (total
behavior), terdiri dari doing,
thinking, feling dan psysiology. Oleh karena perilaku yang dimunculkan
adalah bertujuan dan dipilih sendiri, maka Glasser menyebutnya dengan teori kontrol.
Teori Kontrol
Ada
4 komponen perilaku total menurut Glasser, yaitu: berbuat (doing), berpikir
(thinking), merasakan (feeling), dan menunjukkan respon biologis (psysiologis).
Konsep perillaku total ini membandingkan bagaimana individu berfungsi
sebagaimana obil berfungsi, seperti halnya keempat roda mobil membawa arah
mobill berjalan, demikian halnya keempat komponen total behavior tersebut
menetapkan arah hidup individu (Colledge, 2002:120).
Glasser
dalam Corey (1991:524) menjelaskan bahwascara langsung mengubah cara kita
merasakan terpisah dari apa yang kita lakukan dan pikirkan, merupakan hal yang
sangat sulit dilakukan. Meskipun demikian, kita memiliki kemampuan untuk
mengubah apa yang kita lakukan dan pikirkan apapun yang nanti mungkin bisa kita
rasakan. Oleh karena itu, kunci untuk mengubah suatu perilaku total terletak
pada pemulihan untuk mengubah apa yang kita lakukan dan pikirkan. Sementara
itu, reaksi emosi dan respon fisiplogis termasuk dalam proses tersebut.
Ketika
seseorang memenuhi kebutuhannya , menurut Glasser orang tersebut mencapai
identitas sukses. Pencapaian identitas sukses ini terikat pada konsep 3R, yaitu
keadaan di mana individu dapat menerima kondisi yang dihadapinya, dicapai
dengan menunjukkan total behavior, yakni melakukan sesuatu (doing), berpikir
(thingking), merasakan (feeling), dan menunjukkan respon fisiologis (physiology)
secara bertanggung jawab (responsibility), sesuai realita (reality), dan benar
(right).
Konsep
3R
Konsep ini digambarkan Glasser dalam
Bassin (1976:83-85) sebagai berikut
Responsibility
(tanggung jawab)
Adalah kemampuan individu untuk memenuhi
kebutuhannya tanpa harus merugikan orang lain.
Reality
(kenyataan)
Adalah kenyataan yang akan menjadi tantangan bagi
individu untuk memenuhi kebutuhannya. Setiap individu harus memahami bahwa ada
dunia nyata, di mana mereka harus memenuhi kebutuhan-kebutuhan dalam rangka
mengatasi masalahnya. Realita yang dimaksud adalah sesuatu yang tersusun dari
kenyataan yang ada dan apa adanya.
Right
(kebenaran)
Merupakan ukuran atau norma-norma yang diterima
secara umum, sehingga tingkah laku dapat diperbandingkan. Individu yang
melakukan hal ini mampu mengevaluasi diri sendiri bila melakukan sesuatu
melalui perbandingan tersebut dan ia merasa nyaman bila mampu bertingkah laku
dalam tata cara yang diterima secara umum.
D.
Hakikat Konseling
Hakekat konseling realita adalah membantu individu
mencapai otonomi. Otonomi merupakan keadaan yang menyebabkan orang mampu
melepaskan dukungan lingkungan dan menggantikannya dengan dukungan pribadi atau
diri sendiri (internal). Kriteria konseling yang sukses bergantung pada tujuan
yang ditentukan oleh konseli.
E.
Ciri
– Ciri Terapi Realitas
Sekurang – kurangnya ada delapan
ciri yang menentukan terapi realitas sebagai berikut :
·
Terapi realitas menolak
tentang penyakit mental. Ia berasumsi bahwa bentuk-bentuk gangguan tingkah
laku yang spesifik adalah akibat dari ketidak bertanggung jawaban. Pendekatan
ini tidak berurusan dengan diagnosis-diagnosis psikologis. Ia mempersamakan gangguan
mental dengan tingkah laku yang tidak bertanggung jawab dan mempersamakan
kesehatan mental dengan tingkah laku yang bertanggung jawab.
·
Terapi realitas
berfokus pada tingkah laku sekarang alih-alih pada perasaan- perasaan dan
sikaf-sikaf. Meskipun tidak menganggap perasaan-perasaan dan sikap-sikap itu
tidak penting, tetapi realitas menekankan kesadaran atas yingkah laku sekarang.
Terapis realitas juga tidak bergantung pada pemahaman untuk menubah sikap-sikap
tetapi menekankan bahwa perubahan sikap mengikuti perubahan tingkah laku.
·
Terapis realitas
berfokus pada saat sekarang, bukan pada masa lampau. Karena masa lampau
seseorang telah tetap dan tidak bisa diubah, maka yang bisa diubah hanyalah
saat sekarang dan masa yang akan datang. Terapis terbuka untuk mengekplorasi
segenap aspek dari kehidupan klien sekarang, mencakup harapan-harapan,
ketakutan-ketakutan, dan nilai-nilainya. Terapi menekankan kekuatan-kekuatan,
potensi-potensi, keberhasilan-kebrhasilan, dan kualitas-kualitas positif dari
klien dan tidak hanya meperhatikan kemalangan dan gejala-gejalanya. Glasser
(1965, hlm.31) berpendapat bahwa klien dipandang sebagai “ pribadi dengan
potensi yang kuat, bukan hanya sebagai pasien yang memiliki masalah-masalah”.
·
Terapi realitas
menekankan pertinbangan-pertimbangan nilai. Terapi realitas menempatkan pokok
kepentingannya pada peran klien dalam menilai kualitas tingkah lakunya sendiri
dalam menentukan apa yang membantu kegagalan yang dialaminya. Terapi ini
beranggapan bahwa perubahan mustahil terjadi tanpa melihat pada tingkah laku
dan membuat beberapa ketentuan mengenai sifat-sifat konstruktif dan
destruktifnya. Jika para klien menjadi sadar bahwa mereka tidak akan memperoleh
apa yang merek inginkan dan bahwa tingkah laku mereka merusak diri, maka ada
kemungkinan yang nyata untuk terjadinya perubahan positif, semata-mata karena
mereka menetapkan bahwa alternatif-alternatif bisa lebih baik daripada gaya
mereka sekarang yang tidak realistis.
·
Terapi realitas tidak
menekankan transferensi. Ia tidak memandang konsep tradisional tentang
transferensi sebagai hal yang penting. Ia memandang transferensi sebagai suatu
cara bagi terapis untuk tetap bersembunyi sebagai pribadi. Terapi realitas
mengimbau agar para terapis menempuh cara beradanya yang sejati, yakni bahwa mereka
menjadi diri sendiri, tidak memainkan peran sebagai ayah atau ibu klien.
Glassier (1965) menyatakan bahwa para klien tidak mencari suatu pengulangan
keterlibatan di masa lampau yang tidak berhasil, tetapi mencari suatu
keterlibatan manusiawi yang memuaskan dengan orang lain dalam keberadaan mereka
sekarang. Terapis bisa menjadi orang yang membantu para klien dalam memeuhi
kebutuhan-kebutuhan mereka sekarang dengan membangun suatu hubungan yang
personal dan tulus.
·
Terapi realitas
menekankan aspek-aspek kesadaran, bukan aspek-aspek ketaksadaran. Teori
psikoanalitik, yang berasumsi bahwa pemahaman dan kesadaran atas proses-proses
ketaksadaran sebagai suatu prasyarat bagi perubahan kepribadian, menekankan
pengungkapan konflik-konflik tak sadar melalui teknik-teknik seperti analisis
transferensi, analisis mimpi, asosiasi-asosiasi bebas, dan analisis resistensi.
Sebaliknya, terapi realitas menekankan kekeliruan yang dilakukan oleh klien,
bagaimana tingkah laku klien sekarang hingga dia tidak mendapatkan apa yang
diinginkannya, dan bagaimana dia bisa terlibat dalam suatu rencana bagi tingkah
laku yang berhasil yang berlandaskan tingkah laku yang bertanggung jawab dan
realistis.
·
Terapi realitas
menhapus hukuman. Glasser mengingatkan bahwa pemberian hukuman guna mengubah
tingkah laku tidak efektif dan bahwa hukuman untuk kegagalan melaksanakan
rencana-rencana mengakibatkan perkuatan identitas kegagalan pada klien dan
perusakan hubungan terapiutik. Dalam bukunya yang berjudul Schools without
Failure, Glasser (1969, hlm. 7 ) mengeksplorasi secara rinci masalah kegagalan
sebagai suatu cara menghukum para siswa dalam situasi sekolah. Ia menyatakan
bahwa “ masalah utama disekolah-sekolah adalah masalah kegagalan. Ia mengimbau
pembentukan suatu sistem pendidikan yang berakar pada suatu filsafat pendidikan
yang memungkinkan pengalaman belajar yang berhasil. Ia meminta agar para
pendidik “ memeriksa kekurangan-kekurangan yang ada pada pendidikan itu sendiri
yang mengakibatkan kegagalan sekolah, kemudian pembentukan suatu program yang
akan mengoreksinya” (Glasser, 1969, hlm. 11).
·
Terapi realitas
menekankan tanggng jawab, yang oleh Glasser(1965, hlm 13) didefinisikan sebagai
“kemampuan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuha sendiri dan melakukannya dengan
cara tidak mengurangi kemampuan orang lain dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan
mereka”. Belajar tanggung jawab adalah proses seumur hidup. Meskipun kita semua
memiliki kebutuhan untuk mencintai dan dicintai serta kebutuhan untuk memiliki
rasa berguna, kita tidak memiliki kemampuan bawaan untuk memenuhi
kebutuhan-kebutuhan itu. Glasser (hlm 10) menyatakan bahwa “kita perlu belajar
untuk mengoreksi diri apabila kita membuat salah dan membanggakan diri apabila
kita berbuat benar”. Untuk memperbaiki tingkah laku kita apabila berada dibawah
standar tengah kita perlu mengevaluasi tingkah laku kita itu. Oleh karenanya,
bagian yang esensial dari terapi realitas mencakup moral standar-standar,
pertimbangan-pertimbangan nilai, serta benar dan salahnya tingkah laku karena
semuanya itu berkaitan erat dengan pemenuhan kebutuhan akan rasa berguna.
Menurut Glasser, orang yang bertanggung jawab melakukan apa-apa yang memberikan
kepada dirinya perasaan diri berguna dan perasaan bahwa dirinya berguna bagi
orang.
F. MEKANISME PENGUBAHAN
1.
Proses Konseling
Pendekatan ini melihat koneling sebagai proses
rasional yang menekankan pada perilaku sekarang dan saat ini. Artinya, konseli
ditekankan untuk melihat perilakunya yang dapat diamati daripada motif-motif
bawah sadarnya. Dengan demikian, konseli dapat mengevaluasi apakah periakunya
tersebut cukup efektif dalam memnuhi kebutuhannya atau tidak.
Menurut Glasser, hal-hal yang membawa perubahan
sikap dari penolakan ke penerimaan realitas yang terjadi selama proses
konseling adalah (Corey, 1991:535-536)
·
Konseli dapat
mengekplorasi keinginan, kebutuhan, danapa yang dipersepsikan tentang kondisi
yang dihadapinya. Di sini konseli terdorong untuk mengenali dan mendefinisikan
apa yang mereka inginkan untuk memenuhi kebutuhannya. Setelah mengetahui apa
yang diinginkan, konseli lalu mengevaluasi yang ia lakukan selama memenuhi
kebutuhan-kebutuhan tersebut.
·
Konseli focus pada
perilaku sekarang tanpa terpaku pada permasalahan masa lalu. Tahap ini
merupakan kesadaran konseli untuk memenuhi bahwa kondisi yang dialaminya
bukanlah hal yang bisa dipungkiri. Kemudian mereka mulai menentukan alternative
apa saja yang harus dilakukan. Di sini konseli mengubah perilaku totalnya,
tidak hanya sikap dan perasaan, namun yang diutamakan adalah tindakan dan
pikiran.
·
Konseli mau
mengevaluasi perilakunya, merupakan kondisi di mana konseli membuat penilaian
tentang apa yang telah ia lakukan terhadap dirinya berdasarkan system nilai
yang berlaku di masyarakat. Apakah yang dilakukan dapat menolong dirinya atau
sebaliknya, apakah itu bermanfaat, sudahkah sesuai dengan aturan, dan apakah
realistis atau dapat dicapai. Mereka menilai kualitas perilakunya, sebab tanpa
penilaian pada diri sendiri, perubahan akan sulit terjadi. Evaluasi ini
mencakup seluruh komponen perilaku total.
·
Konseli mulai
menetapkan perubahan yang dikehendakinya dan komitmen terhadap apa yang telah
direncanakan. Rencana-rencana yang ditetapkan harus sesuai dengan kemampuan
konseli, bersifat konkrit atau jelas pada bagian mana dari perilakunya yang
akan diubah, realistis dan melibatkan perbuatan positif. Rencana itu juga harus
dilakukan dengan segera dan berulang-ulang.
Tahap-Tahap
Konseling
Ada 2 unsur utama proses konseling
dalam pendekatan realitas yaitu, penciptaan kondisi lingkungan yang kondusif
dan beberapa prosedur yang menjdai pedoman untuk mendorong terjadinya perubahan
pada konseli. Secara praktis, Thompson,et.al. mengemukakan delapan tahap dalam
konseling realita.
Tahap
1 : Konselor menunjukkan keterlibatan
dengan konseli
Tahap ini
merupakan tahap awal dari pertemuan yang dimana konselor harus bersikap
otentik, hangat, dan menaruh perhatian pada hubungan yang sedang dibangun.
Konselor harus dapat melibatkan diri kepada konseli dengan memperlihatkan sikap
hangat dan ramah. Hubungan yang terbangun antara konselor dan konseli sangat
penting, sebab konseli akan terbuka dan bersedia menjalani proses konseling
jika dia merasa bahwa konselornya terlibat, bersahabat, dan dapat dipercaya.
Oleh karena itu, penerimaan yang positif adalah sabgat esensial agar proses
konseling berjalan efektif.
Menunjukkan
keterlibatan dengan konseli dapat ditunjukkan dengan perilaku attending.
Perilaku ini tampak dalam kontak mata (menatap konseli), ekspresi wajah
(menunjukkan minatnya tanpa dibuat-buat), duduk dengan sikap terbuka (agak maju
kedepan dan tidak bersandar), poros tubuh agak condong dan diarahkan ke
konseli), melakukan respon refleksi, memperhatikan perilaku nonverbal konseli,
dan melakukan respons paraphrase.
Selain itu,
konselor perlu menunjukkan sikap bersahabat. Pada tahap awal, umumnya konseli
menunjukkan tidak membutuhkan bantuan konselor, terlebih bila konseli tidak
dating dengan sukarela. Meskipun konseli menunjukkan ketidaksenangan, marah,
atau bersikap yang tidak berkenan, dan sebagainya, konselor harus tetap
menunjukkan sikap ramah dan sopan, tetap tenang, dan tidak mengintimidasi
konseli. Kalimat yang diungkapkan konselor harus menunjukkan bahwa konselor
bersahabat dengan konseli. Respon yang diungkapkan juga tidak mengekspresikan
apa yang sedang dilakukan oleh konseli pada saat itu, tetapi menunjukkan
kekuatan dan fleksibilitas konseli, bukan kelemahan dan ketakutan konseli. Mengapa?
Karena pada dasarnya konseli bukan sedang marah kepada konselor. Oleh karena
itu, respon konselor harus mengandung muatan bahwa ia sedang menyampaikan
terkadang marah bukanlah sebuah kesalahan, sebab dalam keadaan tertentu, marah
kadang menjadi pilihan.
Contoh respon
konseor yang menunjukkan sikap di atas
Konseli : “Sebenarnya saya tidak perlu bantuan ibu, saya sudah tahu apa
yang akan
Ibu sarankan kepada saya. Percuma lah bu,
buang-buang waktu saja.
Lagipula selama ini juga tidak ada yang
peduli dengan saya…”
Konselor : “Saya bisa membantu Anda bersedia mendiskusikan hal tersebut
dengan saya.
Konselor
juga perlu menunjukkan bahwa ia bertekad membantu konseli. Konseling realita
selalu berpedoman bahwa perilaku total (total Behavior) hamper selalu dipilih.
Karenanya, tingkah laku yang lebih efisien dan lebih membantu diperlukan bagi
konseli yang sedang menghadapi masalah.
Konseli : “Ibu pasti mengira bahwa depresi yang saya alami hanya bersifat
sementara.”
Konselor : “Tidak pernah terpikir dalam benak saya Anda akan mengalami hal
itu
Selamanya.”
Hal
yang penting sekali dalam proses konseling, konselor juga harus bersikap genuine.
Melalui proses konseling, konseli belajar bahwa mental yang sehatdan kehidupan
akan menjadi lebih baik jika relasi antar manusia didasari saling keterbukaan
dan apa adanya daripada pura-pura dan manipulasi. Oleh karena itu, bersikap
jujur dan berterus terang dengan konseli juga sangat penting.
Konselor
juga tidak menghakimi konseli atau tidak memberi penilaian atas apa yang telah
dilakukan konseli. Dengan demikian, konselor dapat memahami apapun yang telah
dilakukan konseli, merupakan pilihan terbaik yang dilakukannya pada saat itu.
Dalam konteks ini, biasanya konseli berharap konselor akan mendiskusikan
kegagalan perilaku yang dialaminya, misal mengenai kebiasaan konseli
mengkonsumsi narkoba, masalah yang dialami konseli di masa lampau, dan sebagainya.
Sebaliknya, konselor lebih cenderung mendiskusikan keberhasilan konseli. Hal
ini berarti konselor mengajak konseli untuk melihat kebutuhan lain yang ada
dalam dirinya daripada berkutat pada permasalahan yang dialami yang pada
dasarnya bersifat sementara. Meskipun pada tahap-tahap konseling selanjutnya,
konseli akan dihadapkan pada pokok permasalahan yang sedang dialaminya.
Konseli : “Sudah satu tahun ini saya mengenal putaw dan merasa tenang
setelah
Mengkonsumsinya.”
Konselor : “Kapan terakhir kali Anda pernah tidak
menggunakan putaw dan tetap
merasa tenang.”
Tahap
2 : Fokus pada perilaku sekarang
Setelah konseli
dapat melibatkan diri kepada konselor, maka konselor menanyakan kepada konseli
apa yang akan dilakukannya sekarang. Tahap kedua ini merupakan eksplorasi diri
bagi konseli. Konseli mengungkapkan ketidaknyamanan yang ia rasakan dalam
menghadapi permasalahannya. Lalu konselor meminta konseli mendeskripsikan
hal-hal apa saja yang telah dilakukan dalam menghadapi kondisi tersebut. Secara
rinci, tahap ini meliputi:
·
Eksplorasi “picture
album” (keinginan), kebutuhan, dan persepsi
·
Menanyakan
keinginan-keinginan konseli
Konselor : “Saya akan membantu Anda jika Anda bersedia
mendiskusikan apa yang
Sedang Anda alami”
Konseli : “Saya baik-baik saja kok”
Konselor : “ Saya juga berharap seperti itu, tapi
mungkin anda yang ingin Anda
Sampaikan dengan kedatangan Anda ke sini.
Konseli : “Sudah satu tahun belakangan saya mengenal
putaw dan merasa tenang
Setelah mengkonsumsinya”
Konselor : “Apa yang Anda inginkan dengan mengkonsumsi
putaw?”
Konseli : “Kondisi keluarga membuat saya tertekan
dan saya memperoleh ketenangan
Dengan mengkonsumsi putaw.”
·
Menanyakan apa yang
benar-benar diinginkan konseli
Konselor : “Jadi, Anda menginginkan ketenangan?
Ketenangan yang bagaimana
yang Anda inginkan.”
Konseli : “Saya pusing setiap hari mendengar
pertengkaran orang tua Saya.”
Konselor : “kamu ingin orang tuamu tidak selalu
bertengkar?
Konseli : “ya….”
Konselor : “Apa lagi yang benar-benar kamu inginkan.”
·
Menanyakan apa yang
terpikir oleh konseli tentang yang diinginkan orang lain ari dirinya dan
menanyakan bagaimana konseli melihat hal tersebut.
Konselor : “Apa yang diinginkan oragtuamu dan Anda”
Konseli : “Mereka ingin saya menjadi anak yang
penurut, padahal saya begini karena.
Mereka Cuma sibuk bertengkar, tidak pernah
memperhatikan sata.?
Pada tahap kedua ini juga konselor perlu mngatakan
kepada konseli apa yang dapat dilakukan konselor, yang diinginkan konselor dari
konseli, dan bagaimana konselor melihat situasi tersebut, kemudian membuat
komitmen untuk konseling.
Tahap
3 : Mengeksplorasi total behavior konseli
Menanyakan apa
yang dilakukan konseli (doing), yaitu: konselor menanyakan secara spesifik apa
saja yang dilakukan konseli; cara pandang dalam Konseling Realita, akar
permasalahan konseli bersumber pada perilakunya (doing), bukan pada
perasaannya. Missal, konseli mengungkapkan setiap kali menghadapi ujian ia
mengalami kecemasan yang luar biasa. Dalam pandangan Konseling Realita, yang
harus diatasi bukan kecemasan konseli, tetapi hal-hal apa saja yang telah
dilakukannya untuk menghadapi ujian.
Tahap
4 : Konseli menilai diri sendiri atau
mengevaluasi
Konselor
menanyakan kepada konseli apakah pilihan perilakunya itu didasari oleh
keyakinan bahwa hal itu baik baginya. Fungsi konselor tidak untuk menilai benar
atau salah perilaku konseli, tetapi membimbing konseli untuk menilai
perilakunya saat ini. Beri kesempatan kepada konseli untuk mengevaluasi, apakah
ia cukup tebantu dengan pilihannya tersebut. Kemudian bertanya kepada konseli
apakah pilihan perilakunya dapat memenuhi apa yang menjadi kebutuhan konseli
saat ini,menanyakan apakah konseli akan tetap pada pilihannya, apakah hal
tersebut merupakan perilaku yang dapat diterima, apakah realistis, apakah
benar-benar dapat mengatasi masalahnya, apakah keinginan konseli realistis atau
dapat terjadi/dicapai, bagaimana konseli memandang pilihan perilakunya, sehingga
konseli dapat menilai apakah hal tersebut cukup membantunya, dan menanyakan
komitmen konseli untuk megikuti proses konseling.
Tahap
5 : Merencanakan tindakan yang
bertanggung jawab
Tahap ketika
konseli mulai menyadari bahwa perilakunya tidak menyelesaikan masalah, dan
tidak cukup menolong keadaan dirinya, dilanjutkan dengan membuat perencanaan
tindakan yang lebih bertanggung jawab. Rencana yang disusun sifatnya spesifik
dan konkret. Hal-hal apa yang akan dilakukan konseli untuk keluar dari
permasalahan yang sedang dihadapinya.
Tahap
6 : Membuat komitmen
Konselor
mendorong konseli untuk merealisasikan rencana yang telah disusunnya bersama
konselor sesuai dengan jangka waktu yang ditetapkan.
Tahap
7 : Tidak menerima permintaan maaf atau
alasan konseli
Pada tahap ini
konselor menanyakan perkembangan perubahan perilaku konseli. Apabila konseli
tidak atau belum berhasil melakukan apa yang telah direncanakannya, permintaan
maaf konseli atas kegagalannya tidak untuk dipenuhi konselor. Sebaliknya,
konselor mengajak konseli untuk melihat kembali rencana tersebut dan
mengevaluasinya mengapa konseli tidak berhasil. Konselor selanjutnya membantu
konseli merencanakan kembali hal-hal yang belum berhasil ia lakukan. Pada tahap
ini sebaiknya konsleor menghindari pertanyaan dengan kata “mengapa” sebab
kecenderungannya konseli akan bersikap defensive dan mencari-cari alasan.
Kondisi : Pada waktu yang telah disepakati (dua
minggu setelah sesi sebelumnya), konseli
Datang menemui konselor. Dalam proses
konseling ia bercerita bahwa dalam waktu
Dua minggu ini ia tetap cemas ketika jam
pelajaran matematika karena tidak dapat
Menjawab soal-soal latihan yang diberikan
guru.
Contoh respon
yang salah
Konseli : “Saya tetap merasa cemas saat pelajaran matematika, pelajarannya
sulit…”
Konselor : “Mengapa kamu merasa sulit.”
Konseli : “Saya tidak pernah sempat untui belajar karena PR saya banyak
Bu…”
Contoh
respon yang benar
Konseli : “Saya tetap merasa cemas saat pelajaran matematika,
pelajarannya sulit…”
Konselor : “Kamu bisa menceritakan kepada saya hal-hal yang menghambat kamu
tetap
Merasa sulit.”
Pada tahap ini,
konselor juga tidak memberikan hukuman, mengkritik, dan berdebat, tetapi
hadapkan konseli pada konsekuensi. Menurut Glasser, memberikan hukuman akan
mengurangi keterlibatan konseli dan menyebabkan ia merasa gagal. Saat konseli
belum berhasil melakukan perubahan, hal itu merupakan pilihannya dan ia akan
merasakan konsekuensi dari tindakannya. Konselor member pemahaman pada konseli,
bahwa kondisinya akan membaik jika ia bersedia melakukan perbaikan itu. Selain
itu, konselor jangan mudah menyerah. Proses konseling yang efektif antara lain
ditunjukkan dengan seberapa besar kegigihan konselor untuk membantu konseli.
Ada kalanya konseli mengharapkan konselor menyerah dengan bersikap pasif, tidak
kooperatif, marah, atau apatis, namun pada tahap inilah konselor dapat
menunjukkan bahwa ia benar-benar terlibat dan ingin membantu konseli mengatasi
permasalahannya. Kegigihan konselor dapa memotivasi konseli untuk bersama-sama
memecahkan masalah.
Tahap
8 : Tindak lanjut
Merupakan tahap
terakhir dalam konseling. Konselor dan konseli mengevaluasi perkembangan yang
dicapai, konseling dapat berakhir atau dilanjutkan jika tujuan yang telah
ditetapkan belum tercapai.
Teknik-teknik Konseling
Teknik-teknik yang digunakan dalam proses konseling realita adalah:
- Memperkuat
tingkah laku
- Shaping, adalah metode mengajarkan tingkahlaku dengan terus-menerus
melakukan aproksimasi dan membuat rantai hubungan.
- Behavioral contract, syarat mutlak
untuk memantapkan kontrak behavioral adalah batasan yang cermat mengenai
masalah konseli, situasi dimana hal itu diekspresikan dan kesediaan konseli
untuk mencoba prosedur itu.
- Assertive training, dapat
diterapkan pada situasi-situasi interpersonal dimana individu yang mempunyai
kesulitan perasaan sesuai atau tepat untuk menyatakannya.
- Modeling
Modeling digunakan untuk tujuan: mempelajari tingkahlaku baru,
memperlemah atau memperkuat tingkahlaku yang siap dipelajari, dan memperlancar
respon.
- Proses mediasi, proses mediasi
melibatkan atensi, retensi, reproduksi motorik dan insentif.
- Live model dan symbolic model, Live
model artinya model hidup, dan symbolic model artinya tingkah laku
model ditunjukkan melalui film, video dan media rekaman lain.
- Behavior rehearsal, dilakukan dalam suasana yang mirip dengan
lingkungan nyata konseli.
- Cognitive restructuring. Proses
menemukan dan menilai kognisi seseorang, memahami dampak negative pemikiran
tertentu terhadap tingkah laku dan belajar mengganti kognisi tersebut dengan
pemikiran yang lebih realistic dan cocok.
- Covert reinforcement, yaitu
memakai imaji untuk menghadiahi diri sendiri.
- Melemahkan
tingkah laku
- Extinction, adalah mengurangi
frekuensi terjadinya suatu tingkah laku dengan menghilangkan reinforcement.
- Reinforcing incompatible behavior,
memperkuat tingkah laku positif sehingga tingkah laku negative terkurangi dna
hilang.
- Relaxation
training, biasanya digunakan untuk mengatasi tekanan/stress.
- Systematic desensitization,
prosedur ini digunakan untuk berbaga keadaan yang berhubungan dengan kecemasan,
ketakutan dan reaks pobia.
-
Satiation, adanya reinforcement yang berlebihan sehingga menghilangkan fungsi
sebagai penguat, melainkan sebaliknya.
2.
Kondisi
Pengubahan
Selama
proses konseling, konselor membantu konseli untuk menilai kembali tingkah
lakunya dai sudut bertindak secara bertanggung jawab. Dengan demikian, proses
konseling bagi konseli menjadi pengalaman belajar menilai diri sendiri dan ,
dimana perlu, menggantikan tingkah laku yang keliru dengan tingkah laku yang
tepat. Sampai taraf tertentu, konselor berperan sebagai seorang guru yang
mengajarkan tata cara bertindak secara bertanggung jawab, memberikan pujian
bilamana konseli mulai bertindak secar tepat, dan mencela bila konseli tidak
bertindak secara bertanggung jawab. Konselor menolak segala macam alas an untuk
membela diri bila konseli tidak menunjukkan tanggung jawab itu, apalagi
menimpakan kesalahannya sendiri pada orang lain atau situasi dan kondisi. Kalau
konseli ingin menikmati kebahagian dalam hidup, dia harus menjadi orang yang
bersikap dan bertindak dengan penuh tanggung jawab di tengah-tengah medan
kenyataan hidup.
a.
Tujuan
Konseling
Layanan konseling ini bertujuan membantu konseli
mencapai identitas berhasil. Konseli yang mengetahui identitasnya, akan
mengetahui langkah-langkah apa yang akan ia lakukan di masa yang akan dating
dengan segala konsekuensinya. Bersama-sama konselor, konseli dihadapkan kembali
pada kenyataan hidup, sehingga dapat memahami dan mampu menghadapi realitas.
b.
Peran
dan Fungsi Konselor
Fungsi konselor dalam pendekatan realitas adalah
melibatkan diri dengan konseli, bersikap direktif dan didaktif, yaitu berperan
seperti guru yang mengarahkan dan dapat saja mengkonfrontasi, sehingga konseli
mampu menghadapi kenyataan. Di sini, terapis sebagai fasilitator yang membantu
konseli agar bisa menilai tingkah lakunya sendiri secara realistis.
c.
Konseli
Dalam konseling realita, pengalaman yang
perlu dimiliki oleh konseli adalah peran konseli memusatkan pada tingkah laku
dalam proses konseling (konseli diharapkan memusatkan pada tingkah laku mereka
sebagai ganti dari perasaan dan sikap-sikapnya), konseli membuat dan
menyepakati rencana (ketika konseli memutuskn untuk bagaimana mereka ingin
berubah, mereka diharapkan untuk mengembangkan rencana khusus untuk mengubah
tingkah laku gagal ke tingkahlaku berhasil), konseli mengevaluasi tingkah
lakunya sendiri, dan konseli belajar kecanduan positif (dalam hal ini Glasser
mengungkapkan pentingnya belajar tanpa kritik dari orang lain dalam setiap
usaha kita.
d.
Situasi Hubungan
Konseling realita didasarkan pada hubungan
pribadi dan keterlibatan antara konseli dan konselor. Konselor dengan
kehangatan, pengertian, penerimaan dan kepercayaan pda kapasitas orang untuk
mengembangkan identitas berhasil, harus mengkomunikasikan dirinya kepada
konseli bahwa dirinya membantu. Melalui keterlibatan ini, konseli belajar
mengenai hidup daripada memusatkan pada mengungkap kegagalan dan tingkah laku
yang tidak bertanggungjawab. Kunci konseling realita adanya
kesepakatan/komitmen dalam membuat rencana dan melaksanakannya. Perencanaan
yang telah dilakukan oleh konseli dinilai positif jika ditulis dalam
kontrak. Dalam konseling realita ditekankan tidak adanya ampunan/ no
excuses ketika konseli tidak melaksanakan rencananya.
3.
Kelemahan Dan
Kelebihan
Kelemahan:
- Teori
ini mengabaikan tentang intelegensi manusia, perbedaan individu dan factor
genetic lain.
- Dalam
konseling kurang menekankan hubungan baik antara konselor dan konseli,
hanya sekedarnya.
3.
Pemberian reinforcement
jika tidak tepat dapat mengakibatkan kecanduan/ketergantungan.
Kelebihan:
- Asumsi
mengenai tingkah laku merupakan hasil belajar.
- Asumsi
mengenai kepribadian dipengaruhi oleh lingkungan dan kematangan.
- Konseling
bertujuan untuk mempelajari tingkah laku baru sebagai upaya untuk
memperbaiki tingkah laku malasuai.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar