Rabu, 02 Januari 2013

Pendekatan Realitas

-->
A.    Sejarah
William Glesser merupakan lulusan dari the Case of Technology sebagai insinyur Kimia pada tahun 1944 di usia 19 tahun, kemudian ia mengambil master di bidang Psikologis Klinis pada usia 23 tahun di universitas yang sama. Pada tahun 1956 Glasser menjadi kepala bagian psikiatri di Venture School of Girl yang merupakan institusi untuk menangani kenakalan remaja perempuan. Pada saat inilah Glasser mengembangkan konsep pendekatan realitas. Buku pertamanya Mental Health or Mental Illmess pada tahun 1961 merupakan landasan berpikir dari teknik dan konsep dasar terapi realitas (Thompson,et.al.,2004,p.110).
Glasser menggunakan istilah reality therapy pada April 1964 pada manuskrip yang berjudul Reality Therapy: A Realistic Approach to the Young Offender. Tulisan tersebut diterbitkan pada tahun 1965 dengan judul 1965 dengan judul Reality Therapy. Pada tahun 1968 Glasser mendirikan the Institute for Reality Therapy di Los Angeles.
Yang dimaksudkan dengan istilah reality ialah suatu standar atau patokan obyektif, yang menjadi kenyataan atau realitas yang harus diterima. Realitas atau kenyataan itu dapat berwujud suatu realitas praktis, realitas social, atau realitas moral. Sesuai dengan pandangan behavioristik, yang terutama disoroti pada sseorang adalah tingkah lakunya. Tingkah laku ini dievaluasi menurut kesesuaian atau ketidaksesuaian dengan realitas yang ada. Glasser memfokuskan perhatian pada perilaku seseorang pada saat sekarang, dengan menitikberatkan tanggung jawab  yang dipukul setiap orang untuk berperilaku sesuai dengan realitas atau kenyataan yang dihadapi. Penyimpangan/ketimpangan dalam tingkah laku sesorang dipandang sebagai akibat dari tidak adanya kesadaran menhgenai tanggung jawab pribadi; bukan sebagai indikasi/gejala adanya gangguan kesehatan mental menurut konsepsi tradisional. Bagi Glasser, bermental sehat adalah menunjukkan rasa tanggung jawab dalam semua perilaku. Tanggung jawab diartikan sebagai kemampuan untuk dapat memenuhi dua kebutuhan psikologis yang mendasar yaitu kebutuhan dicintai dan mencintai serta kebutuhan menghayati dirinya sebagai orang yang berharga dan berguna, tetapi dengan cara tidak merampas hak orang lain untuk memenuhi kebutuhan mereka. Kemampuan untuk memenuhi kedua kebutuhan dasar tidak dimiliki sejak lahir, tetapi harus diperoleh melalui suatu proses belajar. Dengan demikian, bertanggung jawab merupakan hasil dari aneka usaha belajar memenuhi kebutuhan itu dalam realitas hidup, yang menghadapkan orang pada norma-norma moralitas, adat-istiadat social, nilai-nilai kehidupan, serta pembatasan gerak-gerik yang lain. Orang perorangan tidak diperkenankan untuk bertindak sesuka hati; dia harus menunjukkan tingkah laku yang tepat dan menghindari tingkah laku yang salah (right and wrong behavior).
Menurut pendapat Schmidt (1993) pendekatan ini cocok untuk diterapkan oleh seorang konselor sekolah karena tekanan yang diberikan pada kemampuan individu mengatur kehidupannya sendiri dan berani mempertanggungjawabkan suatu lingkungan kegudayaan yang mengutamakan pengembangan segala potensi yang menghargai kelancaran dalam hubungan social biarpun berarti mengorbankan suatu potensi yang sebnarnya dimiliki.
Ciri yang khas dari pendekatan ini adalah tidak terpaku pada kejadian-kejadian di masa lalu, tetapi mendorong konseli untuk menghadapi realitas. Pendekatan ini juga tidak member perhatian pada motif-motif bawah sadar sebagaimana pandangan kaum psikoanalisis. Akan tetapi, lebih menekankan pada pengubahan tingkah laku yang lebih bertanggung jawab dengan merencanakan dan melakukan tindakan-tindakan tersebut.

B.     Pandangan Tentang Manusia
Glasser percaya bahwa setiap manusia memiliki kebutuhan psikologis yang secara konstan (terus-menerus) hadir sepanjang rentang kehidupannya dan harus dipenuhi. Ketika seseorang mengalami masalah, hal tersebut disebabkan oleh factor, yaitu terhambatnya seseorang dalam memenuhi kebutuhan psikologisnya. Keterhambatan tersebut pada dasarnya karena penyangkalan terhadap realita, yaitu kecenderungan seseorang untuk menghindari hal-hal yang tidak menyenangkan. Mengacu pada teori hierarki kebutuhan yang dikemukakan oleh Maslow, Glasser mendasari pandangannya tentang kebutuhan manusia untuk dicintai dan mencintai, dan kebutuhan untuk merasa berharga bagi orang lain. 
Secara rinci, Glasser menjelaskan kebutuhan-kebutuhan dasar psikologis manusia, meliputi:
1.      Cinta
Menurut Glasser kebutuhan ini disebut sebagai identity society, yang menekankan pentingnya hubungan personal. Beberapa aktivitas  yang menunjukkan kebutuhan ini antara lain: persahabatan, acara perkumpulan tertentu, dan keterlibatan dalam organisasi kemahasiswaan. Kebutuhan ini oleh Glasser dibagi dalam tiga bentuk: social belonging, work belonging, dan family belonging.
2.      Kekuasaan
Kebutuhan akan kekuasaan (power) meliputi kebutuhan untuk berprestasi, merasa beharga, dan mendapatkan pengakuan. Kebutuhan ini biasanya di ekspresikan melalui kompetisi dengan orang-orang disekitar kikta, memimpin, mengorganisir, menyelesaikan pekerjaan sebaik mungkin, menjadi tempat bertanya atau meminta pendapat bagi orang lain, melontarkan idea tau gagasan dan sebagainya.
3.      Kesenangan
Merupakan kebutuhan untuk merasa senang, bahagia. Pada anak-anak, terlihat dalam aktivitas bermain. Kebutuhan ini muncul sejak dini, kemudian terus berkembang hingga dewasa. Misalnya, berlibur untuk menghilangkan kepenatan, bersantai, melucu, humor, dan sebagainya.
4.      Kebebasan
Kebebasan (freedom) merupakan kebutuhan untuk merasakan kebebasan atau kemerdekaan dan tidak bergantung pada orang lain, misalnya membuat pilihan (aktif pada organisasi kemahasiswaan), memutuskan akan melanjutkan studi pada jurusan apa, bergerak, dan berpindah dari satu tempat ke tempat lain. Kebutuhan-kebutuhan tersebut bersifat universal, tetapi dipenuhi dengan cara yang unik oleh masing-masing manusia. Glasser memiliki pandangan yang optimis tentang kemampuan dasar manusia, yaitu kemampuan untuk belajar memenuhi kebutuhannya dan menjadi orang yang bertanggung jawab. Tingkah laku yang bertanggung jawab merupakan upaya manusia mengontrol lingkungan untuk memenuhi kebuthan dan menghadaoi realita yang dialami dalam kebutuhannya.
Dapat dirumuskan, pandangan Glasser tentang manusia adalah sebagai berikut:
·         Setiap individu bertanggung jawab terhadap kehidupannya
·         Tingkah laku seseorang merupakan gaya mengontrol lingkungan untuk memenuhi kebutuhannya.
·         Individu ditantang untuk menghadapi realita tanpa memperdulikan kejadian-kejadian di masa lalu, serta tidak member perhatian pada sikap dan motivasi di bawah sadar.
·         Setiap orang memiliki kemampuan untuk melakukan sesuatu pada masa kini.

C.    Konsep Dasar
Pada dasarnya setiap individu terdorong untuk memenuhi kebutuhan dan keinginannya, di mana kebutuhannya bersifat universal pada semua individu, sementara keinginan bersifat unik pada masing-masing individu. Ketika seseorang dapat memnuhi apa yang diinginkan, kebutuhan tersebut terpuaskan. Tetapi, jika apa yang diperoleh tidak sesuai dengan keinginan, maka orang akan frustasi, dan pada akhirnya akan terus memunculkan perilaku baru sampai keinginannya terpuaskan. Artinya, ketika timbul perbedaan antara apa yang diinginkan dengan apa yang diperoleh, membuat individu terus memunculkan perilaku-perilaku yang spesifik. Jadi, perilaku yang dimuncukan adalah bertujuan, yaitu dibentuk untuk mengatasi hambatan antara apa yang diinginkan denga apa yang diperoleh, atau muncul karena dipilih oleh individu.
Perilaku manusia, merupakan perilaku total (total behavior), terdiri dari doing, thinking, feling dan psysiology. Oleh karena perilaku yang dimunculkan adalah bertujuan dan dipilih sendiri, maka Glasser menyebutnya dengan teori kontrol.
Teori Kontrol
Ada 4 komponen perilaku total menurut Glasser, yaitu: berbuat (doing), berpikir (thinking), merasakan (feeling), dan menunjukkan respon biologis (psysiologis). Konsep perillaku total ini membandingkan bagaimana individu berfungsi sebagaimana obil berfungsi, seperti halnya keempat roda mobil membawa arah mobill berjalan, demikian halnya keempat komponen total behavior tersebut menetapkan arah hidup individu (Colledge, 2002:120).
Glasser dalam Corey (1991:524) menjelaskan bahwascara langsung mengubah cara kita merasakan terpisah dari apa yang kita lakukan dan pikirkan, merupakan hal yang sangat sulit dilakukan. Meskipun demikian, kita memiliki kemampuan untuk mengubah apa yang kita lakukan dan pikirkan apapun yang nanti mungkin bisa kita rasakan. Oleh karena itu, kunci untuk mengubah suatu perilaku total terletak pada pemulihan untuk mengubah apa yang kita lakukan dan pikirkan. Sementara itu, reaksi emosi dan respon fisiplogis termasuk dalam proses tersebut.
Ketika seseorang memenuhi kebutuhannya , menurut Glasser orang tersebut mencapai identitas sukses. Pencapaian identitas sukses ini terikat pada konsep 3R, yaitu keadaan di mana individu dapat menerima kondisi yang dihadapinya, dicapai dengan menunjukkan total behavior, yakni melakukan sesuatu (doing), berpikir (thingking), merasakan (feeling), dan menunjukkan respon fisiologis (physiology) secara bertanggung jawab (responsibility), sesuai realita (reality), dan benar (right).
Konsep 3R
Konsep ini digambarkan Glasser dalam Bassin (1976:83-85) sebagai berikut

Responsibility (tanggung jawab)
Adalah kemampuan individu untuk memenuhi kebutuhannya tanpa harus merugikan orang lain.

Reality (kenyataan)
Adalah kenyataan yang akan menjadi tantangan bagi individu untuk memenuhi kebutuhannya. Setiap individu harus memahami bahwa ada dunia nyata, di mana mereka harus memenuhi kebutuhan-kebutuhan dalam rangka mengatasi masalahnya. Realita yang dimaksud adalah sesuatu yang tersusun dari kenyataan yang ada dan apa adanya.

Right (kebenaran)
Merupakan ukuran atau norma-norma yang diterima secara umum, sehingga tingkah laku dapat diperbandingkan. Individu yang melakukan hal ini mampu mengevaluasi diri sendiri bila melakukan sesuatu melalui perbandingan tersebut dan ia merasa nyaman bila mampu bertingkah laku dalam tata cara yang diterima secara umum.

D.    Hakikat Konseling
Hakekat konseling realita adalah membantu individu mencapai otonomi. Otonomi merupakan keadaan yang menyebabkan orang mampu melepaskan dukungan lingkungan dan menggantikannya dengan dukungan pribadi atau diri sendiri (internal). Kriteria konseling yang sukses bergantung pada tujuan yang ditentukan oleh konseli.

E.     Ciri – Ciri Terapi Realitas
Sekurang – kurangnya ada delapan ciri yang menentukan terapi realitas sebagai berikut :
·         Terapi realitas menolak tentang penyakit mental. Ia berasumsi bahwa bentuk-bentuk gangguan tingkah laku yang spesifik adalah akibat dari ketidak bertanggung jawaban. Pendekatan ini tidak berurusan dengan diagnosis-diagnosis psikologis. Ia mempersamakan gangguan mental dengan tingkah laku yang tidak bertanggung jawab dan mempersamakan kesehatan mental dengan tingkah laku yang bertanggung jawab.
·         Terapi realitas berfokus pada tingkah laku sekarang alih-alih pada perasaan- perasaan dan sikaf-sikaf. Meskipun tidak menganggap perasaan-perasaan dan sikap-sikap itu tidak penting, tetapi realitas menekankan kesadaran atas yingkah laku sekarang. Terapis realitas juga tidak bergantung pada pemahaman untuk menubah sikap-sikap tetapi menekankan bahwa perubahan sikap mengikuti perubahan tingkah laku.
·         Terapis realitas berfokus pada saat sekarang, bukan pada masa lampau. Karena masa lampau seseorang telah tetap dan tidak bisa diubah, maka yang bisa diubah hanyalah saat sekarang dan masa yang akan datang. Terapis terbuka untuk mengekplorasi segenap aspek dari kehidupan klien sekarang, mencakup harapan-harapan, ketakutan-ketakutan, dan nilai-nilainya. Terapi menekankan kekuatan-kekuatan, potensi-potensi, keberhasilan-kebrhasilan, dan kualitas-kualitas positif dari klien dan tidak hanya meperhatikan kemalangan dan gejala-gejalanya. Glasser (1965, hlm.31) berpendapat bahwa klien dipandang sebagai “ pribadi dengan potensi yang kuat, bukan hanya sebagai pasien yang memiliki masalah-masalah”.
·         Terapi realitas menekankan pertinbangan-pertimbangan nilai. Terapi realitas menempatkan pokok kepentingannya pada peran klien dalam menilai kualitas tingkah lakunya sendiri dalam menentukan apa yang membantu kegagalan yang dialaminya. Terapi ini beranggapan bahwa perubahan mustahil terjadi tanpa melihat pada tingkah laku dan membuat beberapa ketentuan mengenai sifat-sifat konstruktif dan destruktifnya. Jika para klien menjadi sadar bahwa mereka tidak akan memperoleh apa yang merek inginkan dan bahwa tingkah laku mereka merusak diri, maka ada kemungkinan yang nyata untuk terjadinya perubahan positif, semata-mata karena mereka menetapkan bahwa alternatif-alternatif bisa lebih baik daripada gaya mereka sekarang yang tidak realistis.
·         Terapi realitas tidak menekankan transferensi. Ia tidak memandang konsep tradisional tentang transferensi sebagai hal yang penting. Ia memandang transferensi sebagai suatu cara bagi terapis untuk tetap bersembunyi sebagai pribadi. Terapi realitas mengimbau agar para terapis menempuh cara beradanya yang sejati, yakni bahwa mereka menjadi diri sendiri, tidak memainkan peran sebagai ayah atau ibu klien. Glassier (1965) menyatakan bahwa para klien tidak mencari suatu pengulangan keterlibatan di masa lampau yang tidak berhasil, tetapi mencari suatu keterlibatan manusiawi yang memuaskan dengan orang lain dalam keberadaan mereka sekarang. Terapis bisa menjadi orang yang membantu para klien dalam memeuhi kebutuhan-kebutuhan mereka sekarang dengan membangun suatu hubungan yang personal dan tulus.
·         Terapi realitas menekankan aspek-aspek kesadaran, bukan aspek-aspek ketaksadaran. Teori psikoanalitik, yang berasumsi bahwa pemahaman dan kesadaran atas proses-proses ketaksadaran sebagai suatu prasyarat bagi perubahan kepribadian, menekankan pengungkapan konflik-konflik tak sadar melalui teknik-teknik seperti analisis transferensi, analisis mimpi, asosiasi-asosiasi bebas, dan analisis resistensi. Sebaliknya, terapi realitas menekankan kekeliruan yang dilakukan oleh klien, bagaimana tingkah laku klien sekarang hingga dia tidak mendapatkan apa yang diinginkannya, dan bagaimana dia bisa terlibat dalam suatu rencana bagi tingkah laku yang berhasil yang berlandaskan tingkah laku yang bertanggung jawab dan realistis.
·         Terapi realitas menhapus hukuman. Glasser mengingatkan bahwa pemberian hukuman guna mengubah tingkah laku tidak efektif dan bahwa hukuman untuk kegagalan melaksanakan rencana-rencana mengakibatkan perkuatan identitas kegagalan pada klien dan perusakan hubungan terapiutik. Dalam bukunya yang berjudul Schools without Failure, Glasser (1969, hlm. 7 ) mengeksplorasi secara rinci masalah kegagalan sebagai suatu cara menghukum para siswa dalam situasi sekolah. Ia menyatakan bahwa “ masalah utama disekolah-sekolah adalah masalah kegagalan. Ia mengimbau pembentukan suatu sistem pendidikan yang berakar pada suatu filsafat pendidikan yang memungkinkan pengalaman belajar yang berhasil. Ia meminta agar para pendidik “ memeriksa kekurangan-kekurangan yang ada pada pendidikan itu sendiri yang mengakibatkan kegagalan sekolah, kemudian pembentukan suatu program yang akan mengoreksinya” (Glasser, 1969, hlm. 11).
·         Terapi realitas menekankan tanggng jawab, yang oleh Glasser(1965, hlm 13) didefinisikan sebagai “kemampuan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuha sendiri dan melakukannya dengan cara tidak mengurangi kemampuan orang lain dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan mereka”. Belajar tanggung jawab adalah proses seumur hidup. Meskipun kita semua memiliki kebutuhan untuk mencintai dan dicintai serta kebutuhan untuk memiliki rasa berguna, kita tidak memiliki kemampuan bawaan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan itu. Glasser (hlm 10) menyatakan bahwa “kita perlu belajar untuk mengoreksi diri apabila kita membuat salah dan membanggakan diri apabila kita berbuat benar”. Untuk memperbaiki tingkah laku kita apabila berada dibawah standar tengah kita perlu mengevaluasi tingkah laku kita itu. Oleh karenanya, bagian yang esensial dari terapi realitas mencakup moral standar-standar, pertimbangan-pertimbangan nilai, serta benar dan salahnya tingkah laku karena semuanya itu berkaitan erat dengan pemenuhan kebutuhan akan rasa berguna. Menurut Glasser, orang yang bertanggung jawab melakukan apa-apa yang memberikan kepada dirinya perasaan diri berguna dan perasaan bahwa dirinya berguna bagi orang.

F.      MEKANISME PENGUBAHAN
1.      Proses Konseling
Pendekatan ini melihat koneling sebagai proses rasional yang menekankan pada perilaku sekarang dan saat ini. Artinya, konseli ditekankan untuk melihat perilakunya yang dapat diamati daripada motif-motif bawah sadarnya. Dengan demikian, konseli dapat mengevaluasi apakah periakunya tersebut cukup efektif dalam memnuhi kebutuhannya atau tidak.
Menurut Glasser, hal-hal yang membawa perubahan sikap dari penolakan ke penerimaan realitas yang terjadi selama proses konseling adalah (Corey, 1991:535-536)
·         Konseli dapat mengekplorasi keinginan, kebutuhan, danapa yang dipersepsikan tentang kondisi yang dihadapinya. Di sini konseli terdorong untuk mengenali dan mendefinisikan apa yang mereka inginkan untuk memenuhi kebutuhannya. Setelah mengetahui apa yang diinginkan, konseli lalu mengevaluasi yang ia lakukan selama memenuhi kebutuhan-kebutuhan tersebut.
·         Konseli focus pada perilaku sekarang tanpa terpaku pada permasalahan masa lalu. Tahap ini merupakan kesadaran konseli untuk memenuhi bahwa kondisi yang dialaminya bukanlah hal yang bisa dipungkiri. Kemudian mereka mulai menentukan alternative apa saja yang harus dilakukan. Di sini konseli mengubah perilaku totalnya, tidak hanya sikap dan perasaan, namun yang diutamakan adalah tindakan dan pikiran.
·         Konseli mau mengevaluasi perilakunya, merupakan kondisi di mana konseli membuat penilaian tentang apa yang telah ia lakukan terhadap dirinya berdasarkan system nilai yang berlaku di masyarakat. Apakah yang dilakukan dapat menolong dirinya atau sebaliknya, apakah itu bermanfaat, sudahkah sesuai dengan aturan, dan apakah realistis atau dapat dicapai. Mereka menilai kualitas perilakunya, sebab tanpa penilaian pada diri sendiri, perubahan akan sulit terjadi. Evaluasi ini mencakup seluruh komponen perilaku total.
·         Konseli mulai menetapkan perubahan yang dikehendakinya dan komitmen terhadap apa yang telah direncanakan. Rencana-rencana yang ditetapkan harus sesuai dengan kemampuan konseli, bersifat konkrit atau jelas pada bagian mana dari perilakunya yang akan diubah, realistis dan melibatkan perbuatan positif. Rencana itu juga harus dilakukan dengan segera dan berulang-ulang.

Tahap-Tahap Konseling
Ada 2 unsur utama proses konseling dalam pendekatan realitas yaitu, penciptaan kondisi lingkungan yang kondusif dan beberapa prosedur yang menjdai pedoman untuk mendorong terjadinya perubahan pada konseli. Secara praktis, Thompson,et.al. mengemukakan delapan tahap dalam konseling realita.
Tahap 1  : Konselor menunjukkan keterlibatan dengan konseli
Tahap ini merupakan tahap awal dari pertemuan yang dimana konselor harus bersikap otentik, hangat, dan menaruh perhatian pada hubungan yang sedang dibangun. Konselor harus dapat melibatkan diri kepada konseli dengan memperlihatkan sikap hangat dan ramah. Hubungan yang terbangun antara konselor dan konseli sangat penting, sebab konseli akan terbuka dan bersedia menjalani proses konseling jika dia merasa bahwa konselornya terlibat, bersahabat, dan dapat dipercaya. Oleh karena itu, penerimaan yang positif adalah sabgat esensial agar proses konseling berjalan efektif.
Menunjukkan keterlibatan dengan konseli dapat ditunjukkan dengan perilaku attending. Perilaku ini tampak dalam kontak mata (menatap konseli), ekspresi wajah (menunjukkan minatnya tanpa dibuat-buat), duduk dengan sikap terbuka (agak maju kedepan dan tidak bersandar), poros tubuh agak condong dan diarahkan ke konseli), melakukan respon refleksi, memperhatikan perilaku nonverbal konseli, dan melakukan respons paraphrase.
Selain itu, konselor perlu menunjukkan sikap bersahabat. Pada tahap awal, umumnya konseli menunjukkan tidak membutuhkan bantuan konselor, terlebih bila konseli tidak dating dengan sukarela. Meskipun konseli menunjukkan ketidaksenangan, marah, atau bersikap yang tidak berkenan, dan sebagainya, konselor harus tetap menunjukkan sikap ramah dan sopan, tetap tenang, dan tidak mengintimidasi konseli. Kalimat yang diungkapkan konselor harus menunjukkan bahwa konselor bersahabat dengan konseli. Respon yang diungkapkan juga tidak mengekspresikan apa yang sedang dilakukan oleh konseli pada saat itu, tetapi menunjukkan kekuatan dan fleksibilitas konseli, bukan kelemahan dan ketakutan konseli. Mengapa? Karena pada dasarnya konseli bukan sedang marah kepada konselor. Oleh karena itu, respon konselor harus mengandung muatan bahwa ia sedang menyampaikan terkadang marah bukanlah sebuah kesalahan, sebab dalam keadaan tertentu, marah kadang menjadi pilihan.
Contoh respon konseor yang menunjukkan sikap di atas
            Konseli    : “Sebenarnya saya tidak perlu bantuan ibu, saya sudah tahu apa yang akan
                                 Ibu sarankan kepada saya. Percuma lah bu, buang-buang waktu saja.
                                 Lagipula selama ini juga tidak ada yang peduli dengan saya…”
            Konselor  : “Saya bisa membantu Anda bersedia mendiskusikan hal tersebut dengan saya.

Konselor juga perlu menunjukkan bahwa ia bertekad membantu konseli. Konseling realita selalu berpedoman bahwa perilaku total (total Behavior) hamper selalu dipilih. Karenanya, tingkah laku yang lebih efisien dan lebih membantu diperlukan bagi konseli yang sedang menghadapi masalah.
            Konseli    : “Ibu pasti mengira bahwa depresi yang saya alami hanya bersifat sementara.”
            Konselor : “Tidak pernah terpikir dalam benak saya Anda akan mengalami hal itu
                                 Selamanya.”
           
Hal yang penting sekali dalam proses konseling, konselor juga harus bersikap genuine. Melalui proses konseling, konseli belajar bahwa mental yang sehatdan kehidupan akan menjadi lebih baik jika relasi antar manusia didasari saling keterbukaan dan apa adanya daripada pura-pura dan manipulasi. Oleh karena itu, bersikap jujur dan berterus terang dengan konseli juga sangat penting.
Konselor juga tidak menghakimi konseli atau tidak memberi penilaian atas apa yang telah dilakukan konseli. Dengan demikian, konselor dapat memahami apapun yang telah dilakukan konseli, merupakan pilihan terbaik yang dilakukannya pada saat itu. Dalam konteks ini, biasanya konseli berharap konselor akan mendiskusikan kegagalan perilaku yang dialaminya, misal mengenai kebiasaan konseli mengkonsumsi narkoba, masalah yang dialami konseli di masa lampau, dan sebagainya. Sebaliknya, konselor lebih cenderung mendiskusikan keberhasilan konseli. Hal ini berarti konselor mengajak konseli untuk melihat kebutuhan lain yang ada dalam dirinya daripada berkutat pada permasalahan yang dialami yang pada dasarnya bersifat sementara. Meskipun pada tahap-tahap konseling selanjutnya, konseli akan dihadapkan pada pokok permasalahan yang sedang dialaminya.
            Konseli    : “Sudah satu tahun ini saya mengenal putaw dan merasa tenang setelah
                                 Mengkonsumsinya.”                                          
            Konselor  : “Kapan terakhir kali Anda pernah tidak menggunakan putaw dan tetap
                                 merasa tenang.”
Tahap 2  : Fokus pada perilaku sekarang
Setelah konseli dapat melibatkan diri kepada konselor, maka konselor menanyakan kepada konseli apa yang akan dilakukannya sekarang. Tahap kedua ini merupakan eksplorasi diri bagi konseli. Konseli mengungkapkan ketidaknyamanan yang ia rasakan dalam menghadapi permasalahannya. Lalu konselor meminta konseli mendeskripsikan hal-hal apa saja yang telah dilakukan dalam menghadapi kondisi tersebut. Secara rinci, tahap ini meliputi:
·         Eksplorasi “picture album” (keinginan), kebutuhan, dan persepsi
·         Menanyakan keinginan-keinginan konseli
Konselor  : “Saya akan membantu Anda jika Anda bersedia mendiskusikan apa yang
                     Sedang Anda alami”
Konseli    : “Saya baik-baik saja kok”
Konselor  : “ Saya juga berharap seperti itu, tapi mungkin anda yang ingin Anda
                      Sampaikan dengan kedatangan Anda ke sini.
Konseli    : “Sudah satu tahun belakangan saya mengenal putaw dan merasa tenang
                     Setelah mengkonsumsinya”
Konselor  : “Apa yang Anda inginkan dengan mengkonsumsi putaw?”
Konseli    : “Kondisi keluarga membuat saya tertekan dan saya memperoleh ketenangan
                     Dengan mengkonsumsi putaw.”
·         Menanyakan apa yang benar-benar diinginkan konseli
Konselor  : “Jadi, Anda menginginkan ketenangan? Ketenangan yang bagaimana
                     yang Anda inginkan.”
Konseli    : “Saya pusing setiap hari mendengar pertengkaran orang tua Saya.”
Konselor  : “kamu ingin orang tuamu tidak selalu bertengkar?
Konseli    : “ya….”
Konselor  : “Apa lagi yang benar-benar kamu inginkan.”


·         Menanyakan apa yang terpikir oleh konseli tentang yang diinginkan orang lain ari dirinya dan menanyakan bagaimana konseli melihat hal tersebut.
Konselor  : “Apa yang diinginkan oragtuamu dan Anda”
Konseli    : “Mereka ingin saya menjadi anak yang penurut, padahal saya begini karena.  
                     Mereka Cuma sibuk bertengkar, tidak pernah memperhatikan sata.?
Pada tahap kedua ini juga konselor perlu mngatakan kepada konseli apa yang dapat dilakukan konselor, yang diinginkan konselor dari konseli, dan bagaimana konselor melihat situasi tersebut, kemudian membuat komitmen untuk konseling.
Tahap 3  : Mengeksplorasi total behavior konseli
Menanyakan apa yang dilakukan konseli (doing), yaitu: konselor menanyakan secara spesifik apa saja yang dilakukan konseli; cara pandang dalam Konseling Realita, akar permasalahan konseli bersumber pada perilakunya (doing), bukan pada perasaannya. Missal, konseli mengungkapkan setiap kali menghadapi ujian ia mengalami kecemasan yang luar biasa. Dalam pandangan Konseling Realita, yang harus diatasi bukan kecemasan konseli, tetapi hal-hal apa saja yang telah dilakukannya untuk menghadapi ujian.
Tahap 4  : Konseli menilai diri sendiri atau mengevaluasi
Konselor menanyakan kepada konseli apakah pilihan perilakunya itu didasari oleh keyakinan bahwa hal itu baik baginya. Fungsi konselor tidak untuk menilai benar atau salah perilaku konseli, tetapi membimbing konseli untuk menilai perilakunya saat ini. Beri kesempatan kepada konseli untuk mengevaluasi, apakah ia cukup tebantu dengan pilihannya tersebut. Kemudian bertanya kepada konseli apakah pilihan perilakunya dapat memenuhi apa yang menjadi kebutuhan konseli saat ini,menanyakan apakah konseli akan tetap pada pilihannya, apakah hal tersebut merupakan perilaku yang dapat diterima, apakah realistis, apakah benar-benar dapat mengatasi masalahnya, apakah keinginan konseli realistis atau dapat terjadi/dicapai, bagaimana konseli memandang pilihan perilakunya, sehingga konseli dapat menilai apakah hal tersebut cukup membantunya, dan menanyakan komitmen konseli untuk megikuti proses konseling.
Tahap 5  : Merencanakan tindakan yang bertanggung jawab
Tahap ketika konseli mulai menyadari bahwa perilakunya tidak menyelesaikan masalah, dan tidak cukup menolong keadaan dirinya, dilanjutkan dengan membuat perencanaan tindakan yang lebih bertanggung jawab. Rencana yang disusun sifatnya spesifik dan konkret. Hal-hal apa yang akan dilakukan konseli untuk keluar dari permasalahan yang sedang dihadapinya.
Tahap 6  : Membuat komitmen
Konselor mendorong konseli untuk merealisasikan rencana yang telah disusunnya bersama konselor sesuai dengan jangka waktu yang ditetapkan.
Tahap 7  : Tidak menerima permintaan maaf atau alasan konseli
Pada tahap ini konselor menanyakan perkembangan perubahan perilaku konseli. Apabila konseli tidak atau belum berhasil melakukan apa yang telah direncanakannya, permintaan maaf konseli atas kegagalannya tidak untuk dipenuhi konselor. Sebaliknya, konselor mengajak konseli untuk melihat kembali rencana tersebut dan mengevaluasinya mengapa konseli tidak berhasil. Konselor selanjutnya membantu konseli merencanakan kembali hal-hal yang belum berhasil ia lakukan. Pada tahap ini sebaiknya konsleor menghindari pertanyaan dengan kata “mengapa” sebab kecenderungannya konseli akan bersikap defensive dan mencari-cari alasan.
Kondisi    : Pada waktu yang telah disepakati (dua minggu setelah sesi sebelumnya), konseli
                   Datang menemui konselor. Dalam proses konseling ia bercerita bahwa dalam waktu
       Dua minggu ini ia tetap cemas ketika jam pelajaran matematika karena tidak dapat
       Menjawab soal-soal latihan yang diberikan guru.
Contoh respon yang salah
            Konseli    : “Saya tetap merasa cemas saat pelajaran matematika, pelajarannya sulit…”
            Konselor  : “Mengapa kamu merasa sulit.”
            Konseli    : “Saya tidak pernah sempat untui belajar karena PR saya banyak Bu…”

Contoh respon yang benar
            Konseli    : “Saya tetap merasa cemas saat pelajaran matematika, pelajarannya sulit…”
            Konselor  : “Kamu bisa menceritakan kepada saya hal-hal yang menghambat kamu tetap
                                 Merasa sulit.”
Pada tahap ini, konselor juga tidak memberikan hukuman, mengkritik, dan berdebat, tetapi hadapkan konseli pada konsekuensi. Menurut Glasser, memberikan hukuman akan mengurangi keterlibatan konseli dan menyebabkan ia merasa gagal. Saat konseli belum berhasil melakukan perubahan, hal itu merupakan pilihannya dan ia akan merasakan konsekuensi dari tindakannya. Konselor member pemahaman pada konseli, bahwa kondisinya akan membaik jika ia bersedia melakukan perbaikan itu. Selain itu, konselor jangan mudah menyerah. Proses konseling yang efektif antara lain ditunjukkan dengan seberapa besar kegigihan konselor untuk membantu konseli. Ada kalanya konseli mengharapkan konselor menyerah dengan bersikap pasif, tidak kooperatif, marah, atau apatis, namun pada tahap inilah konselor dapat menunjukkan bahwa ia benar-benar terlibat dan ingin membantu konseli mengatasi permasalahannya. Kegigihan konselor dapa memotivasi konseli untuk bersama-sama memecahkan masalah.
Tahap 8  : Tindak lanjut
Merupakan tahap terakhir dalam konseling. Konselor dan konseli mengevaluasi perkembangan yang dicapai, konseling dapat berakhir atau dilanjutkan jika tujuan yang telah ditetapkan belum tercapai.

Teknik-teknik Konseling  
Teknik-teknik yang digunakan dalam proses konseling realita adalah:
  1. Memperkuat tingkah laku
-          Shaping, adalah metode mengajarkan tingkahlaku dengan terus-menerus melakukan aproksimasi dan membuat rantai hubungan.
-          Behavioral contract, syarat mutlak untuk memantapkan kontrak behavioral adalah batasan yang cermat mengenai masalah konseli, situasi dimana hal itu diekspresikan dan kesediaan konseli untuk mencoba prosedur itu.
-          Assertive training, dapat diterapkan pada situasi-situasi interpersonal dimana individu yang mempunyai kesulitan perasaan sesuai atau tepat untuk menyatakannya.
  1. Modeling
Modeling digunakan untuk tujuan: mempelajari tingkahlaku baru, memperlemah atau memperkuat tingkahlaku yang siap dipelajari, dan memperlancar respon.
-          Proses mediasi, proses mediasi melibatkan atensi, retensi, reproduksi motorik dan insentif.
-          Live model dan symbolic model, Live model artinya model hidup, dan symbolic model artinya tingkah laku model ditunjukkan melalui film, video dan media rekaman lain.
-          Behavior rehearsal, dilakukan dalam suasana yang mirip dengan lingkungan nyata konseli.
-          Cognitive restructuring. Proses menemukan dan menilai kognisi seseorang, memahami dampak negative pemikiran tertentu terhadap tingkah laku dan belajar mengganti kognisi tersebut dengan pemikiran yang lebih realistic dan cocok.
-          Covert reinforcement, yaitu memakai imaji untuk menghadiahi diri sendiri.

  1. Melemahkan tingkah laku
-          Extinction, adalah mengurangi frekuensi terjadinya suatu tingkah laku dengan menghilangkan reinforcement.
-          Reinforcing incompatible behavior, memperkuat tingkah laku positif sehingga tingkah laku negative terkurangi dna hilang.
-           Relaxation training, biasanya digunakan untuk mengatasi tekanan/stress.
-          Systematic desensitization, prosedur ini digunakan untuk berbaga keadaan yang berhubungan dengan kecemasan, ketakutan dan reaks pobia.
-          Satiation, adanya reinforcement yang berlebihan sehingga menghilangkan fungsi sebagai penguat, melainkan sebaliknya.

2.      Kondisi Pengubahan
Selama proses konseling, konselor membantu konseli untuk menilai kembali tingkah lakunya dai sudut bertindak secara bertanggung jawab. Dengan demikian, proses konseling bagi konseli menjadi pengalaman belajar menilai diri sendiri dan , dimana perlu, menggantikan tingkah laku yang keliru dengan tingkah laku yang tepat. Sampai taraf tertentu, konselor berperan sebagai seorang guru yang mengajarkan tata cara bertindak secara bertanggung jawab, memberikan pujian bilamana konseli mulai bertindak secar tepat, dan mencela bila konseli tidak bertindak secara bertanggung jawab. Konselor menolak segala macam alas an untuk membela diri bila konseli tidak menunjukkan tanggung jawab itu, apalagi menimpakan kesalahannya sendiri pada orang lain atau situasi dan kondisi. Kalau konseli ingin menikmati kebahagian dalam hidup, dia harus menjadi orang yang bersikap dan bertindak dengan penuh tanggung jawab di tengah-tengah medan kenyataan hidup.
a.      Tujuan Konseling
Layanan konseling ini bertujuan membantu konseli mencapai identitas berhasil. Konseli yang mengetahui identitasnya, akan mengetahui langkah-langkah apa yang akan ia lakukan di masa yang akan dating dengan segala konsekuensinya. Bersama-sama konselor, konseli dihadapkan kembali pada kenyataan hidup, sehingga dapat memahami dan mampu menghadapi realitas.



b.      Peran dan Fungsi Konselor
Fungsi konselor dalam pendekatan realitas adalah melibatkan diri dengan konseli, bersikap direktif dan didaktif, yaitu berperan seperti guru yang mengarahkan dan dapat saja mengkonfrontasi, sehingga konseli mampu menghadapi kenyataan. Di sini, terapis sebagai fasilitator yang membantu konseli agar bisa menilai tingkah lakunya sendiri secara realistis.

c.       Konseli
Dalam konseling realita, pengalaman yang perlu dimiliki oleh konseli adalah peran konseli memusatkan pada tingkah laku dalam proses konseling (konseli diharapkan memusatkan pada tingkah laku mereka sebagai ganti dari perasaan dan sikap-sikapnya), konseli membuat dan menyepakati rencana (ketika konseli memutuskn untuk bagaimana mereka ingin berubah, mereka diharapkan untuk mengembangkan rencana khusus untuk mengubah tingkah laku gagal ke tingkahlaku berhasil), konseli mengevaluasi tingkah lakunya sendiri, dan konseli belajar kecanduan positif (dalam hal ini Glasser mengungkapkan pentingnya belajar tanpa kritik dari orang lain dalam setiap usaha kita.

d.      Situasi Hubungan
Konseling realita didasarkan pada hubungan pribadi dan keterlibatan antara konseli dan konselor. Konselor dengan kehangatan, pengertian, penerimaan dan kepercayaan pda kapasitas orang untuk mengembangkan identitas berhasil, harus mengkomunikasikan dirinya kepada konseli bahwa dirinya membantu. Melalui keterlibatan ini, konseli belajar mengenai hidup daripada memusatkan pada mengungkap kegagalan dan tingkah laku yang tidak bertanggungjawab. Kunci konseling realita adanya kesepakatan/komitmen dalam membuat rencana dan melaksanakannya. Perencanaan yang telah dilakukan oleh konseli dinilai positif  jika ditulis dalam kontrak. Dalam konseling realita ditekankan tidak adanya ampunan/ no excuses ketika konseli tidak melaksanakan rencananya.

3.      Kelemahan Dan Kelebihan
Kelemahan:
  1. Teori ini mengabaikan tentang intelegensi manusia, perbedaan individu dan factor genetic lain.
  2. Dalam konseling kurang menekankan hubungan baik antara konselor dan konseli, hanya sekedarnya.
3.      Pemberian reinforcement jika tidak tepat dapat mengakibatkan kecanduan/ketergantungan.
Kelebihan:
  1. Asumsi mengenai tingkah laku merupakan hasil belajar.
  2. Asumsi mengenai kepribadian dipengaruhi oleh lingkungan dan kematangan.
  3. Konseling bertujuan untuk mempelajari tingkah laku baru sebagai upaya untuk memperbaiki tingkah laku malasuai.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar